Belanja Bantuan Sosial

Oleh: Dr. Syukriy Abdullah, SE., M.Si., Ak., CA

https://syukriy.wordpress.com/

Dalam konsep pembangunan daerah, keberadaan penduduk miskin menjadi persoalan sekaligus media untuk mengukur seberapa efektif perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban atas fungsi-fungsi pemerintahan yang telah dilaksanakan. Data kemiskinan menjadi dasar untuk menyusun strategi pembangunan, sekaligus menjadi tolok ukur pencapaian kinerja dari para politisi yang menjadi kepala daerah (eksekutif) dan perwakilan rakyat (DPRD). Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah adalah penyaluran belanja bantuan sosial (BBS) yang secara sederhana bertujuan untuk menjaga agar masyarakat tidak mengalami krisis sosial atau berkehidupan tidak layak.

Dari aspek keuangan, penganggaran BBS sangat penting. Secara politis, besaran alokasi untuk BBS ini menunjukkan kepedulian pemerintah daerah terhadap orang miskin. Para calon anggota legislatif (caleg) dan kepala daerah biasanya memberikan perhatian besar kepada orang miskin menjelang dilaksanakannya pemilu, baik dengan memberikan bantuan uang dan barang, maupun dengan memberikan bantuan dalam bentuk lain.

Secara teknis, BBS dianggarkan dengan menggunakan mekanisme yang berbeda dengan belanja lain. Dalam penganggaran BBS terlebih dahulu harus jelas siapa yang akan menerima BBS, mengajukan proposal (kecuali untuk yang bersifat “tidak terencana”), ada verifikasi dokumen dan lapangan, dan penyusunan RKA-SKPD/RKA-PPKD. Oleh karena itu, inventarisasi data orang miskin sangat penting, dan sebisa mungkin merupakan data yang valid dan faktual.

Pengaturan oleh Pemda

Mekanisme dan besaran besaran alokasi untuk BBS diatur dan ditetapkan oleh pemerintah daerah. Kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah untuk kedua hal tersebut (Permendagri No.32/2011). Oleh karena itu, semua pihak harus mematuhi aturan main yang dibuat secara otonom oleh Pemda ini. Posisi Permendagri No.32/2011 dan perubahannya hanya sebagai acuan bagi Pemda, bukan sebagai pedoman teknis yang menjadi pegangan bagi SKPD. Hal ini sejalan dengan pengaturan pada Pasal 151 Ayat (2) PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pasal 146 Ayat (2) UU No.32/2004 tentang Pemerintahan daerah.

Pengaturan BBS secara mandiri, independen, dan transparan oleh Pemda seharusnya tidak sulit, namun pada kenyataannya tidak semua Pemda sudah menetapkan aturan ini. Ada kekuatiran bahwa pengaturan yang detil dan rigid akan menyulitkan Pemda sendiri dalam implementasinya di lapangan, mengingat kompleksitas persoalan sosial yang ada di masyarakat. Persoalan kemiskinan tidak selalu terselesaikan dengan program-program terencana, sehingga sering membutuhkan kebijakan yang bersifat sporadis atau seuai keadaan.

Sumber Dana untuk BBS

Politisisasi Belanja Bantuan Sosial

Bagikan Kajian ini

Kajian Lainnya