Oleh : Dr. Hasan Basri, M.Com
Suatu studi pada tahun 2008 di 39 kota di Indonesia yang menilai tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah daerah menyimpulkan bahwa sebagian besar responden merasa tidak puas terhadap komitmen pemerintah daerah dalam memberantas korupsi dan melaporkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (Chene, 2009). Sehingga, tidak mengherankan bila isu-isu seperti minimnya akuntabilitas, kesalahan pengelolaan sumber daya, kurangnya efisiensi dan efektivitas lembaga-lembaga pemerintah, sering disuarakan oleh berbagai media dan lembaga swadaya masyarakat pemerhati korupsi.
Lemahnya pengelolaan dana publik saat ini tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi telah menjadi fenomena global (Owechi, 2012). Malaysia, misalnya, walaupun telah melakukan berbagai inisiatif, pendekatan, dan transformasi dalam meningkatkan kinerja aparatur pemerintah dalam mengelola dana publik, namun berdasarkan bukti yang ada menunjukkan bahwa mereka juga masih menghadapi berbagai masalah berkaitan dengan inefisiensi, korupsi, dan skandal pengelolaan dana publik (Nabiha, 2011), walaupun hal tersebut tidak separah yang terjadi di Indonesia.
Dalam konteks Aceh, isu-isu yang berkaitan dengan lemahnya sistem pengelolaan dana publik semestinya menjadi perhatian khusus pemerintah. Status Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus telah mendongkrak peningkatan aliran dana publik yang dikelola pemerintah daerah. Di tahun 2013, misalnya, Pemerintah Provinsi Aceh menerima transfer dari pemerintah pusat sebesar Rp 8,2 triliun. Jika diakumulasi dengan penerimaan pemerintah kabupaten/kota, jumlahnya mencapai Rp28,3 triliun (The Globe Journal, 30/12/2012). Dengan jumlah dana yang diterima begitu besar, sebenarnya Pemerintah Aceh memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menggunakan dana ini untuk mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan pelayanan publik.
Sayangnya, lembaga-lembaga pemerintah yang ada di Aceh saat ini belum memiliki kemampuan yang cukup dalam mengelola dan membelanjakan dana publik secara efektif dan efisien. Hal lain yang masih menjadi masalah utama adalah korupsi. Lembaga FITRA pada tahun 2012 lalu bahkan menempatkan Pemerintah Aceh sebagai pemerintah daerah terkorup nomor dua setelah Jakarta (Aceh National Post, 14/12/2012). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau berdasarkan hasil Analisis Belanja Publik Aceh (PECAPP) mengelompokkan Aceh sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia yang pendapatan perkapitanya masuk dalam tiga besar setelah Papua dan Kalimantan Timur, namun ironisnya berada dalam kelompok empat besar daerah termiskin di Indonesia.
Adanya sistem pengelolaan keuangan yang baik merupakan harapan semua pihak dan sangat penting bagi pembangunan suatu negara atau daerah. Hal ini dapat meyakinkan masyarakat dan negara donor bahwa pemerintah menggunakan dana-dana publik secara tepat dan benar. Di samping itu, juga akan memberikan kesan yang bagus kepada pihak swasta terutama investor bahwa pemerintah telah menciptakan suatu iklim yang kondusif untuk penanaman modal. Sistem manajemen keuangan yang disebutkan di atas meliputi: penganggaran, pengendalian internal, aliran dana, laporan keuangan, dan mekanisme pemeriksaan.
Untuk menjamin semua itu terwujud, maka semua aktivitas pengelolaan dana publik harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip tatakelola yang baik (good governance). Berbagai versi pengertian good governance telah diberikan oleh para ahli, namun secara umum dapat disimpulkan bahwa good governance adalah menyangkut bagaimana suatu organisasi dikelola dan dikontrol dengan cara-cara yang dapat menjamin adanya transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran. Dalam aspek ekonomi dan administrasi, prinsip-prinsip good governance meliputi adanya hal-hal yang dapat meningkatkan akuntabilitas publik, transparansi, menghormati dan memperkuat aturan-aturan hukum, serta anti terhadap korupsi (Rogers, 2007). Prinsip-prinsip dasar good governance ini baru akan bermakna bila semua aparatur pemerintahan dari berbagai tingkat manajemen memiliki integritas dan komitmen yang tinggi untuk menerapkannya. Jika tidak diterapkan, good governance hanya akan menjadi slogan pencitraan semata.
Saat ini sudah banyak bukti menjunjukkan bahwa prinsip-prinsip dasar good governance, terutama dalam hal pengelolaan dana publik, belum sepenuhnya dijalankan dan masih jauh dari yang diharapkan oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan Pemerintah Aceh sering dikritik dan disorot oleh lembaga pemerhati korupsi terhadap kegagalannya mengelola dana publik secara baik, terutama dalam proses penganggaran, implementasi, serta pelaksanaan prosedur akuntansi.
Kita ambil contoh kasus dalam hal manajemen penganggaran. Beberapa studi mengidentifikasikan bahwa manajemen penganggaran pemerintah Aceh belum berjalan dengan baik. Hampir setiap tahun proses perencanaan hingga pengesahan APBD provinsi maupun kabupaten/kota selalu molor dari waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan dan undang-undang (UNDP, 2012). Ironisnya, keterlambatan perencanaan dan pengesahaan anggaran telah menjadi hal yang dianggap lazim baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Padahal keterlambatan tersebut memiliki implikasi yang sangat besar terhadap efektivitas dan efisiensi penggunaan dana publik.
Ketepatan waktu pengesahan APBD baik di provinsi maupun kabupaten/kota sangat penting untuk menjamin bahwa pemerintahan berfungsi dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Hal ini juga untuk menciptakan suatu pemerintahan yang taat fiskal mulai dari perencanaan, implementasi, pelaporan, dan komitmen terhadap semua aturan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, implementasi prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan dana publik harus menjadi perhatian yang sangat serius dari segenap aparatur Pemerintah Aceh seperti yang selalu diingatkan oleh Gubernur. Karena, melalui pelaksanaan prinsip-prinsip good governance inilah akan memungkinkan terciptanya suatu pemerintahan yang transparan, efisien, dan akuntabel, sekaligus mendorong tumbuhnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, yang pada gilirannya akan bermuara pada percepatan proses peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan. Semoga. [ ]
Penulis adalah Dosen Prodi Akuntansi FE Unsyiah, saat ini merupakan visiting scholars di Graduate Institute of Technology Management, University of Tainan, Taiwan.
Tulisan ini sudah pernah dimuat di Majalah Aceh Economic Review, Terbitan Biro Perekonomian Setda Aceh, Edisi Juli-September, 2013
Kajian Lainnya